Review Film The Shape of Water
Film “The Shape of Water” garapan Guillermo del Toro bukan sekadar tontonan biasa. Karya yang meraih penghargaan Best Picture di ajang Academy Awards 2018 ini membawa penonton menyelami romansa tak lazim antara manusia dan makhluk amfibi yang penuh misteri. Bagi pecinta film yang haus akan cerita berbeda dari arus utama, situs seperti dutamovie.id bisa menjadi panduan untuk memahami lebih dalam konteks dan nilai-nilai sinematik dari film ini.
Kisah Sunyi yang Penuh Makna
“The Shape of Water” berlatar pada era Perang Dingin di Amerika Serikat tahun 1960-an. Tokoh utama, Elisa Esposito (diperankan dengan apik oleh Sally Hawkins), adalah wanita bisu yang bekerja sebagai petugas kebersihan di fasilitas penelitian rahasia pemerintah. Dalam kesendiriannya, Elisa menemukan koneksi emosional yang dalam dengan makhluk amfibi yang ditangkap dan ditahan untuk eksperimen militer.
Yang membuat film ini mencuri perhatian bukan sekadar efek visual atau kostum yang detail, tapi bagaimana kisah cinta antara dua makhluk berbeda spesies disajikan dengan kelembutan dan empati. Del Toro dengan cermat membungkus kisah ini dengan nuansa dongeng dewasa, penuh alegori tentang kemanusiaan, kesepian, dan keberanian mencintai tanpa syarat.

Visual dan Musik yang Menghipnotis
Secara visual, “The Shape of Water” adalah mahakarya. Warna-warna hijau kebiruan mendominasi hampir setiap adegan, menciptakan atmosfer yang lembap namun magis, layaknya dunia bawah laut. Kamera bergerak luwes, seperti arus air yang membelai, menyatu dengan tema film yang memang sarat dengan elemen air.
Musik garapan Alexandre Desplat, yang juga meraih Oscar untuk Best Original Score, memperkuat nuansa romantis dan melankolis dalam film. Tiap notasi terasa mengalir dengan dialog yang tidak terucapkan, menggantikan kata-kata yang tidak bisa diucapkan Elisa. Dengan kombinasi visual dan audio yang seharmoni ini, film tidak hanya ditonton, tetapi juga dirasakan.
Simbolisme Sosial yang Kuat
Lebih dari sekadar kisah cinta, film ini menyisipkan kritik sosial tentang ketidakadilan, diskriminasi, dan prasangka. Tokoh Elisa, yang bisu, menggambarkan kaum marginal yang suaranya kerap tak terdengar dalam masyarakat. Temannya yang seorang pria gay dan tetangganya yang seorang wanita kulit hitam menjadi perwakilan dari kelompok yang sering tersisihkan.

Sementara makhluk amfibi yang tak diberi nama, menjadi simbol dari ‘yang lain’, sosok asing yang dianggap berbahaya hanya karena berbeda. Dalam narasi ini, del Toro mengajak kita merenung: siapa sebenarnya monster dalam kisah ini? Makhluk asing yang hanya ingin pulang, atau manusia yang mengeksploitasi demi kuasa?
Sebuah Puisi Visual tentang Cinta dan Kebebasan
“The Shape of Water” bukan film yang bisa dinikmati semua kalangan. Bagi yang terbiasa dengan kisah cinta konvensional, romansa antara Elisa dan makhluk amfibi mungkin terasa aneh. Namun justru di sinilah letak keistimewaannya. Del Toro tidak menawarkan kenyamanan naratif, melainkan pengalaman sinematik yang menggugah dan reflektif.
Film ini adalah puisi visual yang menyuarakan bahwa cinta sejati tak mengenal batas bentuk, suara, atau bahkan spesies. Kebebasan untuk mencintai dan dicintai adalah hak universal, dan dalam dunia Elisa, air menjadi metafora atas kebebasan itu sendiri – tak bisa dikekang, mengalir ke mana pun ia mau.
Dongeng Dewasa yang Tak Terlupakan
“The Shape of Water” adalah film yang memadukan keindahan visual, cerita yang menyentuh, serta pesan kemanusiaan yang dalam. Bagi para pencinta sinema yang ingin menyelami kisah yang tidak biasa dan penuh makna, film ini adalah pilihan yang wajib ditonton. Situs seperti dutamovie.id bisa menjadi rujukan menarik untuk mendalami lebih banyak karya sejenis.
Lebih dari sekadar cerita fantasi, “The Shape of Water” adalah ajakan untuk memahami makna cinta, kesetiaan, dan kebebasan dalam bentuknya yang paling murni. Dan setelah menontonnya, mungkin kita akan bertanya pada diri sendiri: apakah kita cukup berani mencintai sesuatu yang berbeda?