Tak Sinkron Dengan Pusat Sri Mulyani Gerah Belanja Pemda Masih Rendah

0

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dibuat gerah. Pasalnya, jelang tutup tahun, realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih rendah.

Hingga akhir Oktober 2021, realisasi APBD baru mencapai 59,62 persen atau Rp 730,13 triliun dari pagu Rp 1.224,73 triliun tahun 2021.

“Serapan APBD masih sangat rendah. Di berbagai daerah hanya belanja sekitar 50 persen,” kata Sri Mulyani dalam Kongres Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) Tahun 2021 yang disiarkan secara virtual, kemarin.

Menurutnya, realisasi belanja daerah tersebut hanya naik 3,51 persen (year on year/yoy) dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 705,34 triliun. Dan secara persentase terhadap pagu anggaran, juga jauh lebih rendah.

Jika dilihat per jenis belanja, kata dia, belanja pegawai tercatat Rp 297,37 triliun atau 24,3 persen, belanja barang dan jasa Rp 198,3 triliun atau 16,2 persen, belanja modal Rp 67,64 triliun atau 5,5 persen, serta belanja lainnya Rp 166,82 triliun atau 13,6 persen.

Karena itu, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menegaskan, Pemda harus segera menyerap anggaran belanja APBD. Mengingat hanya tersisa 1,5 bulan sebelum tutup tahun anggaran belanja, yakni 24 Desember 2021.

Akibat menahan belanja, lanjut Sri Mulyani, saat ini seluruh Pemerintah Daerah justru mengalami surplus, yakni pendapatan mereka lebih besar dibanding belanjanya. Sehingga tidak sinkron dengan Pemerintah Pusat yang sedang melakukan countercyclical melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Pemerintah Pusat sedang mendorong pemulihan dengan defisit Rp 540 triliun, tapi daerah justru menahan belanja sehingga terjadi surplus Rp 111,5 triliun. Efektivitas dorongan kebijakan APBN dan daerah belum sinkron, ini yang kami benahi saat ini,” tegasnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, rendahnya serapan APBD sangat mempengaruhi sektor usaha yang bergantung dari belanja daerah. Misalnya, kontraktor sampai subkontraktor proyek. Cashflow mereka bisa terganggu.

“Kalau kontraktor kapasitas besar, bisa pinjam uang ke bank. Tapi kalau kontraktor kecil, mungkin bisa tutup permanen. Usaha mati, timbul pengangguran baru dan menambah orang yang rentan miskin,” kata Bhima kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Padahal, kata dia, Pemerintah Pusat saat ini sedang mati-matian menekan angka pengangguran terbuka.

Per Agustus 2021, angka pengangguran masih 6,4 persen. Penurunannya sangat kecil sejak Covid-19 menyerang awal tahun lalu. [NOV]

]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *