Soal Tata Ulang Kesehatan Global Prof. Tjandra Usulkan 7 Hal Yang Harus Dikaji Lebih Dalam
Presiden Jokowi menyampaikan pesan yang amat kuat dalam KTT G20 di Roma, Italia, Sabtu (30/10) kemarin. Yakni tentang pentingnya tata ulang arsitektur ketahanan kesehatan global.
Hal ini juga disampaikan Jokowi dalam Sidang Umum PBB September lalu.
Terkait hal ini, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang juga mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Prof. Tjandra Yoga Aditama mengusulkan 7 aspek yang perlu dikaji lebih dalam.
Pertama, pandemi Covid-19 harus menjadi katalis untuk perubahan yang sistematis dan mendasar.
Dalam hal ini, dibutuhkan tatanan global yang baru (new global framework) untuk mendukung pencegahan dan perlindungan terhadap kemungkinan pandemi di masa datang. Ini harus dilakukan sekarang.
Kedua, sehubungan aktivitas kesehatan lintas batas negara, Prof. Tjandra menyarankan kita perlu mengacu pada International Health Regulation (IHR).
“Aturan mengenai pandemi tidak ada dalam International Health Regulation. Yang ada, hanya istilah Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Padahal, pandemi lah yang sekarang memporak pandakan dunia,” ungkapnya.
“Pada 2011, ketika saya menjadi anggota The International Health Regulations Review Committee, sudah kami simpulkan bahwa dunia tidak siap menghadapi pandemi H1N1. Ketika itu the world is ill–prepared,” imbuh Prof. Tjandra.
Sepuluh tahun kemudian, pada 2021, Independent Panel for Pandemic Preparedness and Response kembali menyebut dunia tidak siap menghadapi pandemi.
Kali ini, disebut sebagai the world was not prepared. Artinya, dengan upaya penerapan IHR selama 10 tahun sejak 2011 sampai 2021, dunia tidak juga siap menghadapi pandem
“Tentu, masih ada berbagai aspek lain dari International Health Regulation yang perlu dikaji, untuk menilai apakah masih relevan dan atau perlu perubahan mendasar,” tutur Prof. Tjandra.
Dalam hal ini, Prof. Tjandra menilai perlunya suatu aturan yang lebih baik. Lebih lengkap, dan memiliki aspek legal yang lebih kuat, dalam bentuk Pandemic Framework Convention.
“Sebagai anggota WHO dan apalagi Presidensi G 20, maka Indonesia punya peran penting. Bahkan kepemimpinan strategis, untuk mengkaji IHR dan pembentukan Konvensi Pandemi untuk menyelamatkan dunia ini,” papar Prof. Tjandra.
Ketiga, dunia dan semua negara harus melakukan investasi untuk program persiapan (preparedness), termasuk jaminan ketersediaan obat, vaksin, alat kesehatan dan tentunya tenaga kesehatan terampil.
Keempat, penganggaran kesehatan dunia perlu jadi prioritas penting. Melalui IMF, Bank Dunia serta badan keuangan regional menjadi.
Kelima, perlu adanya jaminan komitmen tinggi di tingkat kepala negara/kepala pemerintahan di dunia untuk menjalankan berbagai program kesehatan masyarakat. Termasuk, mengatasi masalah penyebaran penyakit meliwati lintas batas negara.
Keenam, kegiatan surveilans di dunia, antar negara dan di dalam negara masing-masing harus dilakukan secara masif. Agar dapat diketahui data lengkap tentang kecenderungan/tren penyakit dan masalah kesehatan. Terutama, yang erpotensi menyebar luas di dunia.
Ketujuh, perlu ada penguatan yang jelas bagi peran dan fungsi WHO, dalam hal kemandirian, otoritas dan anggarannya.
Hal ini perlu terwujud di WHO tingkat pusat, di berbagai kantor regional, serta perwakilan-perwakilan WHO di negara-negara anggota.
“Ketujuh hal tersebut memerlukan kajian diplomasi kesehatan internasional yang mendalam. Kita punya amat banyak pengalaman dan sarat pengetahuan di bidang ini,” tutur mantan Dirjen Pencegahan dan Pencegahan Penyakit (P2P) dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan.
“Indonesia dapat dan harus berperan besar, bahkan ikut memimpin tata ulang kesehatan global. Termasuk dalam Keketuaan Indonesia di G20 yang akan diterima hari ini dari Italia, demi menyelamatkan umat manusia di dunia dan demi nama harum bangsa,” pungkasnya. [HES]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID