Soal Aturan Kekerasan Seksual Nadiem Siap Adu Argumen

Mendikbudristek Nadiem Makarim tidak tinggal diam dengan serbuan kritik yang dialamatkan kepadanya atas keluarnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Nadiem siap adu argumen dan memberi penjelasan ke pihak-pihak yang khawatir dengan Permendikbud itu.
Mantan Bos Gojek itu menegaskan, Permendikbudristek tersebut adalah inovasi dalam mencegah kekerasan seksual di kampus. Di dalamnya, secara eksplisit disebutkan 22 perilaku yang menjadi kekerasan seksual baik fisik, verbal, bahkan digital.
“Semua bentuk tindakan ini akan ada konsekuensi sanksi administratif,” tegas Nadiem, dalam program Merdeka Belajar yang ditayangkan YouTube Kemendikbud, kemarin.
Pihaknya akan mengatur sanksi bagi mahasiswa atau dosen yang melakukan kekerasan seksual. Yang ringan, bisa berupa teguran tertulis atau kewajiban memohon maaf. Sedangkan yang berat, bisa diberhentikan.
Nadiem melanjutkan, pelaku kekerasan seksual di kampus yang dijatuhi sanksi ringan dan sedang, wajib mengikuti program konseling. Biaya konseling akan dibebankan kepada pelaku, dan hasilnya akan menjadi dasar pimpinan perguruan tinggi untuk menerbitkan surat bahwa dia sudah disanksi.
Pihak kampus yang tidak menjalankan Permendikbudristek ini juga siap-siap dijatuhi sanksi. “Ada berbagai macam sanksi, dari keuangan sampai akreditasi. Kalau kita tidak melakukan ini, banyak kampus tidak merasakan urgensi dan keseriusan pemerintah untuk menangani kekerasan seperti ini,” terang Nadiem.
Kepada para pengkritik Permendikbudristek itu, Nadiem siap berdiskusi. Nadiem menegaskan, tidak pernah mendukung seks bebas. Ranah pengaturan Permendikbudristek ini terbatas pada wilayah pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Untuk detailnya, Kemendikbudristek akan sowan kepada pihak yang memiliki kekhawatiran.
“Kepada yang punya concern-concern dan kritik terhadap Permendikbudristek ini, kami akan menggunakan beberapa bulan ke depan untuk jalan ke semua organisasi, baik ormas, organisasi agama, mahasiswa dan dosen untuk menyerap masukannya selama beberapa bulan ke depan ini termasuk kritik. Jadi kami sangat terbuka untuk melaksanakan dialog,” tutupnya.
Ternyata, selain panen mengkritik, Permendikbudristek ini juga banjir dukungan. Mulai dari kalangan perguruan tinggi sampai kementerian lembaga.
Dari perguruan tinggi, dukungan datang dari BEM Universitas Indonesia, BEM Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM), BEM Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas). Mereka menganggap, Permendikbudristek itu menjadi jawaban atas permasalahan kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus yang belum terselesaikan.
Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Reini Wirahadikusumah juga memberikan dukungan. Dia mengaku, sudah lama menanti kehadiran aturan pencegahan kekerasan seksual di kampus dari pemerintah. “Dengan terbitnya Permendikbudristek tersebut, sekarang ITB bisa segera tandatangani peraturan rektor tentang kekerasan seksual,” katanya.
Dari lembaga, dukungan dari Komnas HAM. Komnas HAM menganggap, Permendikbudristek itu sejalan dengan perlindungan hak manusia. “Substansi dari Permendikbudristek itu sejalan dengan penghormatan dan perlindungan HAM dan memiliki perspektif keadilan gender yang kuat,” ucap Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab.
Dari internal pemerintah, dukungan diberikan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Menurutnya, Permendikbudristek itu sejalan dengan konsep Moderasi Beragama yang terus digelorakan Kemenag.
“Moderasi Beragama singkatnya adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama. Dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan, dan membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa,” jelas Yaqut, kemarin.
Sementara, Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih kurang sreg dengan Permendikbudristek itu. Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-7, yang dilaksanakan di Hotel Sultan Jakarta pada 9-11 November 2021, merekomendasikan agar Nadiem mencabut atau setidaknya merevisi Permendikbudristek itu.
Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh mengatakan, Permendikbudristek itu telah menimbulkan kontroversi. Muatannya bertentangan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, peraturan perundangan-undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Dia mencontohkan salah satu pasal dalam Permendikbudristek yang memuat frasa “tanpa persetujuan korban”. Frasa ini termuat di Pasal 5 Ayat 2 Huruf L dan M. Frasa ini menjadi kontroversi karena dianggap oleh beberapa pihak sebagai bentuk pelegalan seks bebas di lingkungan perguruan tinggi. [MEN]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID