Resesi Ekonomi Jangan Sampai Mampir Ke Sini

Kondisi ekonomi dunia sedang tidak baik-baik saja. Sejumlah negara mulai mengalami resesi. Semoga saja, resesi ekonomi itu, tidak mampir ke sini.

Bank Dunia menilai, perlambatan ekonomi global saat ini merupakan yang paling tajam, setelah pemulihan resesi tahun 1970. Terdapat risiko terjadinya resesi global dan krisis keuangan negara berkembang pada 2023.

Berdasarkan studi Bank Dunia, kepercayaan konsumen global saat ini menurun jauh lebih tajam dibanding kondisi menjelang resesi-resesi global sebelumnya. Salah satu indikatornya, ekonomi Amerika Serikat (AS), China, dan kawasan Eropa sebagai kekuatan ekonomi terbesar, melambat tajam.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengamini, perekonomian global masih mengalami tantangan besar dari berbagai sisi. Sejumlah negara maju seperti AS, negara-negara Eropa, hingga China bahkan dibayangi resesi akibat tingginya inflasi.

Biang kerok melonjaknya inflasi ialah gangguan rantai pasok akibat kondisi geopolitik, proteksionisme, dan gelombang panas (heatwave) di sejumlah negara yang mengganggu produktivitas. Kondisi itu menyebabkan volume perdagangan dunia tak kunjung pulih, setelah sebelum dihantam pandemi Covid-19.

“Volume perdagangan dunia juga tetap rendah. Di tengah perlambatan ekonomi, disrupsi atau gangguan mata rantai pasokan global meningkat sehingga mendorong harga energi bertahan tinggi,” ujar Perry, dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar virtual, kemarin.

Tingginya inflasi di berbagai negara maju memaksa bank-bank sentral memperketat kebijakan moneternya. Kondisi itu pun akan menekan negara-negara berkembang.

Bahkan, baru-baru ini, Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed), menaikkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate) hingga 75 basis poin untuk ketiga kalinya tahun ini. Kini, suku bunga acuan The Fed berada di kisaran 3-3,25 poin.

Menurut Perry, kenaikan Fed Fund Rate menekan pasar keuangan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Akibatnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah.

“Perkembangan tersebut mendorong semakin kuatnya mata uang dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia dan semakin tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global. Sehingga mengganggu aliran investasi portofolio dan tekanan terhadap nilai tukar di negara-negara, termasuk emerging market dan termasuk di Indonesia,” terangnya.

 

Senior Economist DBS Bank Radhika Rao yakin resesi tidak akan mampir ke Indonesia. Kata dia, meski kondisi perekonomian global kini tengah memburuk, bahkan beberapa negara telah jatuh dalam inflasi yang mencapai angka dua digit, Indonesia masih tergolong aman. Ekonomi Indonesia tertolong dengan surplus dari komoditas dan angka konsumsi yang meningkat.

“Surplus perdagangan barang pada Agustus melonjak menjadi 5,8 miliar dolar AS, berlawanan dengan neraca perdagangan yang diekspektasikan akan mengecil. Ini menandai surplus tertinggi kedua yang pernah tercatat, didorong oleh penjualan bahan bakar mineral, baja, serta penjualan minyak nabati yang lebih tinggi,” jelas Radhika.

Beberapa waktu sebelumnya, jajaran BI juga telah menyatakan untuk tidak mengikuti pergerakan agresif dari The Fed dan hanya akan melakukan beberapa langkah pengetatan kebijakan. Menurut Radhika, BI tahu yang mesti dilakukan untuk inflasi dan rupiah.

“Jadi, pada dasarnya musyawarah lokal menjadi lebih penting daripada yang dilakukan The Fed. Kemudian, ekonomi lokal akan tumbuh. Namun, hal itu mungkin tidak serta merta berdampak negatif terhadap konsumsi rumah tangga,” katanya.

Radhika memprediksi, BI akan menaikkan suku bunga setidaknya empat kali lagi, yakni di September hingga Desember. Namun, ia meyakini dampaknya hanya sementara, seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat di tahun depan.

“Yang perlu diketahui, kondisi ini tidak akan kembali ke pada saat level pandemi kemarin. Pemerintah dapat memotong beberapa anggaran untuk menunjang masa pandemi kemarin seperti anggaran kesehatan, subsidi. Saya pikir Pemerintah akan menghabiskan lebih banyak pada infrastruktur dan proyek sosial,” ulasnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyedari ancaman resesi ini. “AS, Eropa jelas potensi resesi tinggi. Karena inflasi mereka sangat tinggi, 40 tahun tertinggi saat ini. Oleh karena itu, direspons kenaikan suku bunga dan likuiditas yang diketatkan,” ujar Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menambahkan, situasi global saat ini sangat dinamis. Banyak bank sentral di dunia pun ragu-ragu dalam mengambil langkah kebijakan.

“Tadinya kita melihat bank-bank sentral di AS dan Eropa masih menunggu karena inflasi temporer karena disrupsi pandemi dan ada perang dijadikan alat perang untuk instrumen perang,” ungkapnya.

Kini sumber permasalahan, yaitu perang Rusia dan Ukraina belum ada tanda-tanda akan berakhir. Maka, menurut Sri Mulyani, semua pihak harus bersiap dengan situasi terburuk. [MEN]

]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *