PR Bagi Jenderal Andika Perkasa Sebagai Panglima TNI
Masa tugas yang singkat bagi Jenderal TNI Andika Perkasa tentu tidak berarti akan minim prestasi. Bila visi misi yang dipaparkan di Komisi I DPR dapat dijalankan dengan baik dan konsisten, tentu akan sangat bermanfaat bagi TNI.
Demikian disampaikan pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati. Agar kepemimpinan Andika yang singkat itu berjalan baik, wanita yang akrab disapa Nuning ini berpesan, interoperabilitas harus dilaksanakan. Tiga matra TNI bekerja sama dengan baik menjaga kedaulatan NKRI.
“Dengan pertimbangan kebutuhan organisasi TNI dalam kurun waktu ke depan sebagai bagian modernisasi Alutsista, dibutuhkan Panglima TNI memiliki kemampuan manajemen tempur dan diplomasi militer yang handal,” ucapnya mantan Anggota Komisi I DPR ini, Rabu (17/11).
Nuning menerangkan, banyak negara saat ini tengah menyusun kebijakan baru terkait defence shifting yang lebih mengarah pada prinsip efisiensi operasi militer dan interoperabilitas. Teknologi terkini yang paling mendominasi defence shifting adalah Unmanned System. Di antaranya adalah Unmanned Aerial Vechile (UAV), Unmanned Surface Vechile (USV), dan Unmanned Sub-Surface Vechile (USSV).
“Pemilihan Alutsista juga yang tepat guna serta betul-betul dibutuhkan. Bukan justru yang dibeli alutsista yang tak sesuai kebutuhan, ancaman, dan alam maupun situasi kondisi Indonesia,” pesannya.
Nuning melanjutkan, ada pertimbangan perkembangan lingkungan strategis pada tataran global dan regional yang meningkatkan fungsi diplomasi pertahanan di tingkat internasional. Oleh karenanya, dibutuhkan sosok Panglima TNI yang memiliki dampak penangkalan bagi petinggi militer internasional. “Penting sekali jika Panglima TNI disegani dunia internasional,” tegasnya.
Di bidang pendidikan dan latihan, SDM unggul Indonesia maju harus dijabarkan internal Mabes TNI dan Mabes Angkatan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas prajurit TNI sebagai SDM yang unggul. Yaitu prajurit yang memiliki pengetahuan kemiliteran maupun akademik yang mumpuni dan terlatih.
Nuning menegaskan, kualitas prajurit TNI harus mulai dibangun agar unggul dibandingkan dengan prajurit negara-negara lain. Apalagi kini tak dapat dihindari adanya perang siber. Kualitas prajurit harus ditingkatkan sejalan dengan era Revolusi Industri 4.0.
“Proses pendidikan dan latihan di lingkungan TNI harus memanfaatkan teknologi informasi dan digitalisasi agar diperoleh keuntungan organisasi pendidikan berupa efisiensi. Ini penting untuk interoperabilitas komunikasi TNI dan pihak lain. Keuntungan lain adalah pengajaran kepada peserta didik atas pemanfaatan teknologi informasi dan digitalisasi dalam penugasan selanjutnya di Kotama Operasional dan/atau Kotama Pembinaan,” ucapnya.
Munculnya serangan siber kognitif, lanjut Nuning, juga penting diatensi. Serangan siber kognitif adalah jenis serangan psikologis yang tidak disadari banyak pihak dan hanya dapat dilihat dan dirasakan akibatnya. Ini adalah bentuk peperangan yang tidak memerlukan persenjataan konvensional namun dampaknya bisa menyerupai dampak peperangan konvensional sebagaimana yang telah banyak kita saksikan di dalam televisi beberapa tahun belakangan ini. “Maraknya perang kognitif dan perang persepsi juga membutuhkan penanganan dengan metode yang tepat, agar tak menyebabkan disintegrasi bangsa,” terangnya.
Nuning lalu berpesan agar kualitas prajurit TNI harus ditingkatkan untuk mengawaki teknologi militer terkini, seperti pemanfaatan Unmanned System baik berupa robot maupun artificial intelligence, dan cyber defense. Para prajurit TNI harus mulai dipersiapkan mampu berinteraksi dengan sesama prajurit yang asalnya 100 persen manusia, 50 persen robot, dan bahkan yang berasal 100 persen robot. “Oleh sebab itu, sangat penting bagi TNI untuk merekrut para pemuda dan pemudi yang memiliki intelegensi tinggi,” sarannya.
Pada prinsipnya, lanjut Nuning, pembenahan Alutsista sebelum MEF ditujukan untuk efisiensi. Sedangkan pembenahan Alutsista setelah MEF ditujukan untuk optimalisasi (efektif dan efisien).
Pembenahan Alutsista TNI setelah MEF membutuhkan profesionalitas prajurit TNI dari ketiga angkatan yang terintegrasi. Artinya, sistem pendidikan dan latihan (Diklat) prajurit TNI harus dibenahi sesuai dengan operational requirement dan technical specification Alutsista yang diadakan setelah MEF.
“Diklat TNI harus menerapkan standar dan kriteria profesionalitas prajurit TNI yang baru sesuai parameter Alutsista yang terintegrasi. Pembenahan Alutsista yang terintegrasi dan pembenahan kompetensi dan kapasitas tempur prajurit TNI sesuai Alutsista baru tersebut berujung pada pembenahan organisasi TNI,” terangnya.
Kualitas prajurit TNI berikutnya yang harus ditingkatkan adalah kemampuan akademik baik di bidang metodologi cara berpikir maupun di bidang komunikasi. Kualitas metodologi cara berpikir secara ilmiah sangat dibutuhkan para prajurit TNI untuk senantiasa menggunakan perspektif yang ilmiah di dalam menyelenggarakan operasi militer.
“Sedangkan kualitas di bidang komunikasi sangat ditentukan kemampuan menggunakan bahasa-bahasa internasional. Sangat penting bagi prajurit TNI pada level tamtama dan bintara untuk mahir berbahasa Inggris. Kemampuan komunikasi antar budaya juga harus ditingkatkan karena TNI juga berperan dalam menghadapi radikalisme maupun gejolak separatis,” terang Nuning.
Terkait dengan ancaman tentu, tambah Nuning, kita juga harus fokus pada ancaman wilayah laut. Pelanggaran wilayah perairan ZEE Indonesia di Laut Natuna sudah berulang kali terjadi dengan modus yang sama, yaitu diawali dengan masuknya kapal ikan China yang kemudian di-back up oleh China Coast Guard (CCG). Pelanggaran ini terjadi berulang karena China bersikeras melakukan klaim atas sebagian besar perairan Laut China Selatan yang dikenal dengan Nine Dashed Lines.
“Jadi, penting dipahami bahwa China tetap mengakui kedaulatan Indonesia atas Pulau Natuna dan Laut Teritorial Indonesia di Laut Natuna. Klaim China atas Nine Dashed Lines tumpang tindih dengan sebagian perairan ZEE Indonesia di Laut Natuna,” ucapnya.
Sedangkan wilayah udara, kata Nuning, jika TNI AU konsisten dengan konsep Network centric operation, langkah awal adalah mulai menggeser kekuatan tempur utama TNI AU di wilayah perbatasan. Mengingat jarak jelajah pesawat TNI AU sangat ditentukan dari mana pangkalan awalnya untuk airborne. [USU]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID