Pemerintah Kasih Tax Amnesty Jilid II Para Konglomerat, Jangan Mbalelo

0

Pemerintah membuka lagi program pengampunan pajak alias Tax Amnesty. Lewat Tax Amnesty jilid II ini, Pemerintah berupaya menambah pemasukan untuk menambal kocek negara yang jebol karena Covid-19. Di sisi lain, para konglomerat yang selama ini nyimpen harta “di bawah bantal” bisa tenang melaporkan hartanya tanpa kena denda. Karena itu, please, para konglomerat jangan “mbalelo” ya! Nurut saja ke Pemerintah yang sudah baik seperti ini.

Adanya program Tax Amnesty jilid II ini terungkap dalam RUU Perpajakan yang disepakati dalam Rapat Kerja antara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Komisi XI DPR, di Kompleks Senayan, Jakarta, kemarin. Dalam rapat itu, DPR menyetujui RUU Perpajakan dibawa ke Sidang Paripurna untuk disahkan menjadi Undang-Undang. 
 
RUU itu awalnya bernama Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Di tengah jalan, berganti nama menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kini, RUU tersebut selangkah lagi menjadi Undang-Undang, yang rencananya akan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR, awal bulan ini. 
 
Secara umum, RUU HPP mengatur 6 poin perpajakan. Keenamnya adalah Tax Amnesty, Pajak Penghasilan (PPh), PPh Badan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PPN Sembako, dan Pajak Karbon. 
 
Soal Tax Amnesty, kini bernama pengungkapan sukarela wajib pajak (WP). Program ini akan dimulai pada 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022. Dengan program ini, wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan ke Direktur Jenderal Pajak, dalam laporan-laporan sebelumnya. Harta bersih yang diungkap akan dianggap sebagai tambahan penghasilan, sehingga akan dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final, mulai dari kisaran 6 persen hingga 11 persen. Dengan pengungkapan ini, wajib pajak tidak akan kena denda.
 
Sementara, aturan lainnya berisi ketentuan soal kenaikan tarif perpajakan seperti PPh, baik pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan, dan PPN menjadi 11 persen.
 
Sri Mulyani pede, RUU HPP ini mampu meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan, inklusif, sekaligus mendukung percepatan pemulihan perekonomian. “Selain itu, untuk mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional,” katanya, seperti dikutip laman resmi Kemenkeu, kemarin. 

Ia menambahkan, RUU ini juga bertujuan mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum, serta melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan. RUU ini diharapkan juga akan terus meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak. 

 

Juru Bicara Sri Mulyani, Yustinus Prastowo girang bukan kepalang dengan bakal disahkannya RUU HPP. “Alhamdulilah, puji Tuhan! RUU KUP (menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan) disetujui Komisi XI DPR untuk dibawa ke Paripurna dan disahkan menjadi UU. Proses yang panjang, deliberatif, diskursif, dan dinamis demi reformasi perpajakan dan Indonesia maju adil sejahtera,” cuit Yustinus, di akun Twitter @prastow, kemarin. 

Pengamat kebijakan publik, Fajar Arif Budiman menilai, Tax Amnesty jilid II ini merupakan kesempatan bagi konglomerat yang sebelumnya menyembunyikan harta. Dengan adanya kebijakan ini, seharusnya mereka nurut, melaporkan harta dan membayar pajaknya.

“Sudah dikasih ampun sama Pemerintah, sudah dibaik-baikin, seharusnya nurut. Jangan mbalelo lagi,” ucapnya.

Namun, suara-suara penolakan di DPR masih terdengar. Salah satunya dari Anggota Fraksi PKS Ecky Awal Munawar. Dia menilai, Tax Amnesty jilid II ini menandakan kebijakan perpajakan yang timpang. “Karena itu, kami menolak skema ini dan memberi catatan pada RUU HPP,” kata Ecky, kemarin. 
 
Menurut Ecky, program ini hanya menguntungkan konglomerat. Karena memberi keringanan pada orang kelas kakap. Tapi, di sisi lain, RUU HPP membebani masyarakat luas dengan kenaikan tarif PPN dan pengenaan pajak bahan pokok. 
 
Selain itu, dia juga menyinggung Tax Amnesty jilid I yang tidak meningkatkan penerimaan negara jangka panjang. Memang, di 2016, saat program itu dilaksanakan, pendapatan pajak meningkat. Tapi, pada 2018, rasio perpajakan hanya 10,2 pesen. Kemudian, di 2019 turun menjadi 9,8 persen.
 
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menganggap, dibukanya lagi program pengampunan pajak merupakan kesalahan fatal. Mestinya, yang didorong saat ini adalah kepatuhan pajak. Bukan malah memberi ruang bagi wajib pajak yang tak ikut dalam Tax Amnesty jilid I. 

Dia memprediksi, kebijakan ini bisa menurunkan kepercayaan wajib pajak pada pemerintah, karena Tax Amnesty ternyata berulang. “Kalau ada Tax Amnesty jilid II, kenapa tidak mungkin ada Tax Amnesty Jilid III? Akibatnya, Tax Amnesty akan dijadikan peluang bagi pengemplang pajak,” ucapnya, kemarin. [BCG]

]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *