Nggak Ada Syarat PCR Sebelum Terbang Di Australia
Ahli Epidemiologi Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menegaskan, risiko penularan Covid-19 di pesawat terbang sangat rendah. Maka aneh jika Indonesia menjadikan tes PCR sebagai syarat untuk terbang.
Dicky pun memaparkan strategi penanganan pandemi berbasis risiko. Dari data yang ada, risiko terjadinya klaster penularan Covid-19 di pesawat terbang sangat minim dibandingkan moda transportasi lain.
Karena di dalam pesawat terbang, ada fasilitas High Efficiency Particulate Air (HEPA) Filter atau penyaring udara yang mampu mengurangi risiko penularan Covid-19 melalui aerosol.
Secara teori, filter ini menyaring hingga 99,97 persen debu, serbuk, jamur, bakteri, dan partikel udara berukuran 0,3 mikron.
“Bahkan, sebelum ada vaksin ini, kalau semua diterapkan protokol kesehatan, ketika penuh sekalipun di pesawat jarang terjadi klaster penularan. Meskipun ada penumpang yang teridentifikasi Covid-19,” terang Dicky dalam keterangannya, Minggu (24/10).
Salah satu epidemiolog yang diundang oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam acara WHO COVID Experts Meeting, Selasa (19/10) lalu itu mencontohkan pengalaman pesawat yang berangkat dari China menuju Kanada pada awal-awal pandemi.
“Karena risikonya rendah, syarat skriningnya juga jangan diperketat. Itu logikanya,” saran dia.
Menurutnya, tes PCR adalah alat konfirmasi untuk menentukan seseorang pasti atau tidaknya membawa SARS-CoV-2, penyebab Covid-19.
“Artinya ada tahapan sebelumnya, antigen. Sudah sangat tepat dengan edaran sebelumnya,” sebut kandidat PhD bidang Global Health Security dan Pandemi ini.
Bahkan, harusnya ke depan, kata dia, untuk penerbangan domestik, tak diperlukan lagi syarat tes Corona. Apalagi setelah sekitar 80 persen penduduk telah divaksinasi.
“Enggak perlu tes. Di sini juga enggak ada, di Australia tes PCR, apalagi tes Antigen,” sambungnya.
Jika merujuk data Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional atau IATA, risiko penularan virus Corona di pesawat memang kecil.
Dari 1,2 milyar penumpang yang melakukan penerbangan sejak 2020, hanya ditemukan 44 kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19 atau diduga berpotensi ada transmisi virus dalam penerbangan.
“Artinya, dari 44 kasus dari 1,2 milyar penumpang ini sama dengan 1 berbanding 27 juta penumpang. Sebagian besar dari 44 kasus itu pun terjadi sebelum penggunaan masker,” demikian keterangan IATA. [SAR]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID