Mantan Direktur WHO Curhat Traveling Naik Pesawat Di Masa Pandemi, Ini Catatannya

Sejak pensiun dari WHO September 2020 dan terbang kembali ke Jakarta dari New Delhi, Prof. Tjandra Yoga Aditama baru kembali naik pesawat terbang, untuk mengikuti pertemuan Tuberculosis (TB) Summit 2021 pada 20 Oktober 2021.
Mantan Direktur WHO Asia Tenggara ini pun berbagi pengalaman dan pengamatan, terkait pencegahan penularan Covid-19.
“Pertama, tes. Sebelum berangkat, saya periksa swab antigen di Klinik Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Soekarno Hatta, sesuai aturan beberapa hari yang lalu. Hanya 2 atau 3 menit setelah ada hasil, informasinya masuk ke aplikasi Peduli Lindungi saya. Cepat sekali,” ungkap Prof. Tjandra dalam keterangannya, Sabtu (23/10).
“Ketika akan pulang dari Denpasar ke Jakarta, sesuai aturan baru, saya periksa PCR,” imbuhnya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang juga Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI ini mengaku setuju dengan penggunaan tes PCR, untuk bepergian dengan pesawat terbang.
Menurutnya, tes PCR merupakan gold standard, dengan tingkat akurasi yang paling tinggi. Artinya, hasil negatif test PCR memberi keamanan yang lebih tinggi, untuk pencegahan penularan Covid-19.
“Dengan sensitivitas dan spesivisitas yang ada, maka kalau hasil rapid antigen negatif, mungkin saja masih ada virus SARS CoV 2 penyebab COVID-19 dalam tubuh seseorang. Tentu ada potensi untuk menular ke orang sekitarnya,” jelas Prof. Tjandra.
Secara umum, bandara sudah cukup ramai penumpang. Di beberapa restoran, terlihat cukup banyak pengunjung. Selain itu, juga ada antrean tanpa jarak, sekitar 5 sampai 10 orang di kedai kopi ternama.
Ketika antre akan naik pesawat di gate di bandara tampak antrean masuk pesawat yang panjang sekali. Praktis tak jaga jarak.
“Hal ini sebaiknya diperbaiki, walaupun sedang antri maka tetap harus berjarak. Setidaknya, 1 meter antar penumpang. Baik depan belakang, maupun antar barisan antrean kiri kanan,” saran Prof. Tjandra.
Setibanya di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar dan melalui antrean, petugas memeriksa boarding pass. Kita harus memperlihatkan KTP atau pengenal lain.
Sebelum naik pesawat, penumpang diminta membuka masker. Mungkin, maksudnya untuk mengecek, apakah wajah sesuai dengan yang di kartu pengenal.
Padahal, saat itu cukup banyak orang yang antre dalam beberapa baris. Juga ada petugas dan lain sebagainya
“Sehingga, membuka masker walaupun sebentar, tentu memunculkan risiko terjadinya penularan. Baiknya, keharusan buka masker ini tidak perlu dilakuan,” tutur Prof. Tjandra.
Mantan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit serta Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan ini juga menyoroti panjangnya antrean yang cenderung tidak menjaga jarak, saat memeriksa Electronic Health Alert Card (Kartu Kewaspadaan Kesehatan) dan sebagainya di bandara kedatangan.
“Mungkin perlu dicari cara lebih baik. Misalnya dengan menyediakan mesin agar penumpang dapat langsung men- scan eHAC dan sebagainya, tanpa perlu antre dan dicek satu per satu sebelum akhirnya mengambil bagasi,” papar Prof. Tjandra.
Di dalam pesawat, penumpang memang penuh. Kepada penumpang, dibagikan makanan dan minuman dengan pesan yang simpatik, agar makanan tersebut dibawa pulang saja.
Kalau tidak perlu sekali, jangan mengonsumsi di dalam pesawat.
“Tetapi pada kenyataannya, baik di penerbangan Jakarta ke Bali dan juga sebaliknya, orang yang duduk di sebelah saya membuka bungkusan makanan dan menyantapnya di pesawat,” beber Prof. Tjandra.
“Memang tidak salah. Tetapi, membuka masker dan makan sambil banyak bercakap-cakap tentu meningkatkan risiko penularan. Walaupun pesawat sudah dilengkapi dengan HEPA Filter dan sebagainya,” imbuhnya.
Dengan sudah melandainya kasus, jumlah orang bepergian tentu akan lebih banyak. Akan lebih baik, kalau kita semua dapat bepergian dengan aman.
“Memang, kita memerlukan berbagai penyesuaian dalam pola kehidupan baru dengan Covid-19 ini. Kita semua perlu belajar menyesuaikan diri, baik masyarakat luas maupun para petugas, serta penentu kebijakan publik,” tandas Prof. Tjandra. [HES]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID