Mangkir Dari Panggilan KPK, Eks Mentan Amran Sulaiman Minta Jadwal Ulang
Direktur PT Tiran Indonesia Amran Sulaiman mangkir dari panggilan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (17/11).
Mantan Menteri Pertanian itu dijadwalkan diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap pemberian izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi serta izin usaha pertambangan operasi produksi dari Pemerintah Kabupaten Konawe Utara pada 2007-2014.
“Amran Sulaiman, Direktur PT Tiran Indonesia, pemeriksaannya dijadwalkan ulang sesuai dengan konfirmasi yang telah disampaikan yang bersangkutan kepada tim penyidik,” ujar Plt Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding lewat pesan singkat, Rabu (17/11).
Sementara dua saksi lainnya, yakni Direktur PT Tambang Wisnu Mandiri Bisman dan pihak swasta Andi Ady Aksar Armansya, memenuhi panggilan. Keduanya diperiksa penyidik komisi antirasuah di Mapolda Sulawesi Tenggara.
“Kepada keduanya, tim penyidik mengonfirmasi terkait antara lain pengalaman saksi dalam mengurus IUP (izin usaha pertambangan) di Kabupaten Konawe Utara,” bebernya.
KPK menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka korupsi pemberian izin pertambangan nikel. Eks Bupati Konawe Utara itu sudah menyandang status tersangka sejak 2017.
Ia diduga melakukan korupsi terkait izin eksplorasi, izin usaha pertambangan, dan izin operasi produksi di wilayahnya. KPK. Aswad, disebut KPK, mencabut secara sepihak kuasa pertambangan, yang mayoritas dikuasai PT Antam.
Setelah pencabutan secara sepihak itu, KPK menyebut Aswad malah menerima pengajuan permohonan izin eksplorasi dari delapan perusahaan hingga kemudian diterbitkanlah 30 surat keputusan kuasa permohonan eksplorasi.
Dari seluruh izin yang telah diterbitkan itu, beberapa telah sampai tahap produksi hingga diekspor. Perbuatan itu berlangsung hingga 2014. Aswad juga diduga menerima Rp 13 miliar dari perusahaan-perusahaan tersebut.
Korupsi di sektor pertambangan ini diperkirakan mengalami kerugian negara yang melebihi kasus kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Jika kasus e-KTP mencapai Rp 2,3 triliun, perkara izin pertambangan ini merugikan negara senilai Rp 2,7 triliun.
Indikasi kerugian negara ini dari penjualan hasil produksi nikel yang diduga diperoleh akibat proses perizinan yang melawan hukum. [OKT]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID