Ketua Umum MUI Soal Teroris Mati Syahid, No! Mati Sangit, Yes!
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sedang digoyang kasus terorisme karena salah satu pengurusnya ditangkap Densus 88. Lalu, seperti apa sebenarnya sikap MUI terkait terorisme? Ketum MUI, KH Miftachul Akhyar memastikan, hukum aksi terorisme haram. Orang yang melakukan terorisme pun tidak mati syahid, tetapi mati sangit alias bau gosong.
Hal itu ditegaskan Kiai Miftah, usai menerima kedatangan Menko Polhukam Mahfud MD, di Kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, kemarin. Pertemuan itu terbilang mendadak. Bos MUI itu mengaku baru diberitahu sehari sebelumnya.
Dalam pertemuan itu, mereka membahas isu yang urgent atau mendesak. Yakni, persoalan bangsa usai salah satu pengurus MUI dicokok Densus 88 Antiteror Polri, karena diduga terlibat dalam jaringan terorisme. Apalagi setelah peristiwa itu, desakan agar MUI dibubarkan ramai di media sosial.
Kiai Miftah tidak sendiri menyambut Mahfud. Ia ditemani dua petinggi MUI lainnya. Yakni, Bendahara Umum MUI Misbahul Ulum dan Wakil Sekretaris Jenderal MUI, KH Fahrur Rozi, yang juga merupakan Ketua Ikatan Gus Gus Indonesia (IGGI).
Di ruang pertemuan, Kiai Miftah yang tampil mengenakan koko putih dibalut jas krem dan sarungan, duduk di samping kanan Mahfud. Ia mengenakan peci warna hitam, begitupun Mahfud. Sesekali, Rais Aam PBNU ini, manggut-manggut mendengarkan penjelasan Mahfud dalam pertemuan yang tertutup bagi media itu.
Usai pertemuan, Mahfud menggelar konferensi pers. Ada Kiai Miftah bersama petinggi MUI dan pejabat Kemenko Polhukam juga dalam kesempatan itu. Mahfud mengawali pembicaraan terkait penangkapan 3 terduga teroris oleh Densus 88 pada Selasa (16/11) pekan lalu itu, tidak ada kaitannya dengan MUI.
Ketiga terduga teroris yang ditangkap Densus 88 itu, yakni anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ahmad Zain An-Najah, Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) Ahmad Farid Okbah, dan Anung Al Hamat.
“Penangkapan ketiga terduga teroris tersebut tidak dilakukan di Kantor MUI, sehingga jangan berpikir kalau itu penggerebekan di Kantor MUI,” kata Mahfud, sambil menatap map hitam di hadapannya.
Selain itu, lanjut Mahfud, Pemerintah maupun aparat penegak hukum tidak pernah mengumumkan dan mengatakan bahwa 3 terduga teroris yang ditangkap di Bekasi, Jawa Barat, itu adalah pengurus MUI. “Masyarakat dan media yang kemudian membuka identitas yang bersangkutan bahwa yang bersangkutan adalah pengurus MUI,” lanjut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Sayangnya, Mahfud ogah membeberkan bukti-bukti terkait proses penyelidikan kasus terorisme tersebut. Ia berdalih, jika dibeberkan, akan membuka kesempatan jaringan terorisme lainnya untuk kabur. “Kalau diumumkan, nanti yang di luar pada semburat, lari semua jaringannya,” tandasnya.
Kendati demikian, Mahfud memastikan proses hukum ketiga terduga teroris itu, akan berjalan secara terbuka. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diatur bagaimana proses hukum yang berjalan termasuk kapan para terduga teroris boleh didampingi pengacara.
Ia mengaku tidak masalah, jika ada penilaian miring terhadap Pemerintah terkait penangkapan 3 ulama terduga teroris itu. Asalkan tidak diekspresikan melalui tindakan kekerasan dan melawan hukum. Sebab, Indonesia adalah negara demokrasi, yakni kedaulatan rakyat yang juga sekaligus nomokrasi yaitu kedaulatan hukum. “Bolehlah berpendapat pemerintah tidak fair, MUI kecolongan, tapi yang membantah juga diberi tempat,” terangnya.
Saat mendapat giliran bicara, Kiai Miftah mengatakan, hubungan antara Pemerintah dan lembaga yang dipimpinnya berlangsung cukup baik hingga saat ini. Buktinya, MUI masih duduk bareng dengan Menko Polhukam untuk menjelaskan duduk perkara tertangkapnya pengurus MUI dalam kasus dugaan terorisme.
“Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pemerintah, pada hari ini kita bisa bermuwajahah, bertatap muka,” kata Kiai Miftah.
Kiai Miftah mengakui bahwa peristiwa ini menjadi sarana introspeksi lembaga yang dipimpinnya. Atau dikenal dengan istilah muhasabah. Ia menegaskan, sebenarnya sudah menerbitkan fatwa haram untuk tindakan terorisme sejak 2004. Sikap itu tertuang dalam Fatwa Nomor 3 Tahun 2004. Di sinilah Kiai Miftah menyentil anggapan jika aksi terorisme diyakini bakal mendapatkan pahala mati syahid.
“Kalau mereka (teroris) menganggap itu mati syahid, surga. Justru sebetulnya, bukan mati syahid, mati sangit kata orang-orang,” ucapnya, dengan tersenyum. [SAR]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID