Kawasan Pantai Rusak WALHI: Stop Reklamasi Di Serang

0

Nelayan dan warga di Kawasan Bojonegara, Kabupaten Serang, Banten mengeluhkan proyek reklamasi yang dilakukan sejak 2020 silam. Pasalnya, pengerjaan proyek di wilayah itu merusak habitat kembang biak karang, rumpon udang, dan ikan.

Meski Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kelas I Banten sudah memerintahkan penghentian reklamasi karena tidak ada izin pemerintah, namun perusahaan yang bersangkutan tidak mematuhi. Proyek reklamasi jalan terus.

Hal ini disayangkan Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Parid Ridwanuddin. Menurutnya, dari sisi hukum pun kegiatan reklamasi yang terkesan menghancurkan lingkungan itu dilarang. Begitu pun dari sisi sosial, di mana wilayah pesisir laut dijadikan tempat mencari nafkah bagi para nelayan pencari ikan.

“Wilayah pesisir itu ruang bersama. Artinya, semua masyarakat yang selama ini hidup di kawasan itu, terutama nelayan yang menangkap (ikan), itu tidak boleh haknya direnggut. Karena selama ini mereka menggantungkan kehidupannya di sektor kelautan,” ujar Parid.

Berbicara dari sisi hukum, menurut Parid, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010, yang secara mandat menegaskan pengelolaan di kawasan pesisir dan pulau kecil harus dialokasikan sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
“Dari sisi yang lain, saya ingin sebut begini, misal perusahaan mengklaim telah mendapatkan izin. Diizinkan oleh pemerintah saja menurut saya reklamasi itu suatu bentuk pelanggaran,” tegasnya.

“Lalu di wilayah pesisir itu ada yang dinamakan masyarakat sebagai rights holder, pemegang hak untuk mengakses sumber daya pesisir dan laut, mereka yang harus diutamakan sebenarnya,” tambah dia.

Sementara, dari sisi lingkungan, Parid menyebut penggarapan proyek reklamasi akan selalu memiliki dampak merusak lingkungan. Tidak hanya di lokasi proyek yang terjadi pengurukan saja, tapi juga di kawasan pesisir lain yang kekayaan pasirnya dicomot untuk pengerjaan tanah reklamasi.

“Lalu, di wilayah lain terutama di daerah-daerah yang diambil pasirnya itu mengandung kerusakan. Jadi dia merusak dua tempat sekaligus, di lokasi reklamasi dan di tempat pengambilan material pasir,” ungkapnya.

Kemudian dari sisi sosial, nelayan dan masyarakat sekitar pun akan sangat dirugikan karena hak mereka sebagai rights holder wilayah pesisir dirampas. Padahal, mereka secara turun-temurun telah menggantungkan hidupnya di tempat tersebut.

Parid lantas menggarisbawahi, proyek reklamasi itu melanggar 4 pola umum. Yakni, menentang ketentuan hukum yang ditetapkan MK melalui Putusan Nomor 3/2010, merampas hak sosial masyarakat sekitar, merusak lingkungan, dan mengabaikan hak partisipatif warga untuk memanfaatkan wilayah. “Kalau reklamasi di banyak tempat biasanya mendapat penolakan dari masyarakat. Karena itu bukan kebutuhan mereka, hanya untuk kepentingan sepihak,” ucap Parid.

Menurut dia, masyarakat dan pemangku kepentingan berhak mengajukan penegakan hukum atas pengerjaan proyek reklamasi yang terjadi di Serang. Karena dari ketentuan yang sudah diamanatkan, kegiatan reklamasi jelas mengabaikan hak hidup masyarakat luas, utamanya nelayan.

“Lalu, yang lain yang tak kalah penting, Undang-Undang Nomor 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Itu ada mandat dari Undang-Undang yang harus dilakukan oleh pemerintah, yaitu mandat perlindungan dan mandat pemberdayaan,” pungkas Parid. [USU]

]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *