Investor EBT Minta Pemerintah Kebut Regulasi

0

Indonesia perlu melakukan beberapa strategi jitu untuk mempercepat pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) pada 2050. Salah satunya dengan mempersiapkan regulasi dan perkiraan angka investasi yang dibutuhkan untuk EBT.

Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rachmat Mardiana mengatakan, Bappenas sudah menyusun beberapa kajian net zero emission.

Kajian itu berisi pertimbangan sosial, ekonomi, lingkungan dan kebutuhan pendanaan untuk bisa mempercepat dekarbonisasi di Indonesia. Rachmat menjelaskan, skenario yang disusun memiliki titik optimumnya pada kajian tahun 2060. Skenario tahun 2060 itu membahas solusi agar pada tahun 2060 batu bara tidak digunakan lagi.

“Tentunya kita juga perlu melihat upaya mengurangi ketergantungan batu bara. Misalnya melihat perkembangan teknologi ke depan, potensi energi hidrogen untuk mencukupi kebutuhan transportasi, industri, pembangkit tenaga listrik,” katanya dalam konferensi pers The 4th Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021, Senin (20/9).

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, proyek transisi energi terbarukan perlu menunggu Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Tujuannya agar Perpres EBT bisa segera diproses.

“Kita selesaikan dulu RUPTL, didalami dulu dari sisi anggaran, apakah perlu APBN atau biaya penggantian. Kemudian, kita sounding ke Kemenkeu untuk Perpres EBT. Ini sudah proses, sebentar lagi RUPTL selesai dibahas, lalu di Kemenkeu hanya dari sisi perhitungan anggaran saja,” tuturnya.

Dadan menilai, terkait Peraturan Menteri Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap sudah dipublikasikan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada minggu lalu. Namun, saat ini masih dalam proses pengerjaan feedback dari Setkab.

Meski begitu, Dadan memastikan sudah banyak peminat investasi untuk PLTS atap. Beberapa di antaranya adalah perguruan tinggi yang tertarik bergabung dalam program tersebut. Karena, mereka memiliki gedung dengan atap yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai PLTS atap.

Menurutnya, untuk menyambut investor datang diperlukan persiapan data potensi energi terbarukan di Indonesia. Agar tidak terjadi delay ketika investor datang.

“Kuncinya ada di perencanaan. Minimal sekarang yang akan terbit adalah RUPTL 20 GW untuk 10 tahun ke depan on grid. Masih ada off grid yang tidak masuk jaringan PLN,” katanya.

Kemudian, kata Dadan, perencanaan tersebut perlu didukung dengan solusi untuk mengatasi oversupply dari pembangkit listrik.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, pemerintah perlu membuka kesempatan investasi untuk proyek energi terbarukan. Kajian IESR menunjukkan bahwa untuk memenuhi target 23 persen bauran energi baru terbarukan (EBT) hingga 2025, investasi yang diperlukan sekitar 14-15 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 210 triliun.

Sementara itu, untuk mencapai net zero emission, IESR memperkirakan nilai investasi yang diperlukan hingga 2030 menyentuh 25-30 miliar dolar AS atau sekitar Rp 420 triliun.

Angka tersebut akan lebih tinggi pada 2030-2050, yakni mencapai 50-60 miliar dolar AS per tahun. Nilai investasi itu termasuk untuk pengembangan di sektor kelistrikan, transportasi, dan industri.

Fabby menilai, investasi itu juga mencakup pengembangan green hydrogen, serta sintetik fuel untuk kendaraan yang tidak dapat menggunakan listrik, seperti pesawat dan kapal. [KPJ]

]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *